Batam - Selama dua hari, Rabu dan Kamis, 23, 24 November 2011, puluhan ribu massa buruh di Kota Batam melakukan aksi unjuk rasa menuntut, sekali lagi menuntut, agar upah mereka yang diplot pemerintah (bersama pengusaha) dalam skema Upah Minimum Kota (UMK) dinaikan, menjadi sama dan senilai dengan besaran Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang angka-angkanya pun sebenarnya dimasukan pemerintah (bersama-sama dengan pengusaha), baik langsung maupun tidak langsung oleh pemerintah.
UMK, sebenarnya hanyalah angka tawar rendah pengusaha, sedangkan KHL, adalah angka tawar tertinggi dari kaum pemodal kapitalistik. Dan angka-angka itu, baik UMK dan KHL, sesungguhnya, diperbandingkan dengan kebutuhan riil untuk hidup adalah angka perbudakan!!
UMK Kota Batam pada tahun 2010 adalah sebesar Rp1.180.000. Pada tahap negoisasi, pengusaha mengajukan kenaikan UMK sebesar Rp1.260.000. Sedangkan buruh meminta agar UMK tahun 2012 nanti sama dengan angka KHL.
Soal besaran KHL ini ada beberapa versi. KHL versi dewan pengupahan Kota Batam adalah Rp1.302.992.
Sedangkan KHL menurut versi SPMI Rp1.900.000. Adapun KHL yang diusung aksi buruh dan tertulis di spanduk-spanduk adalah Rp1.760.000.
Pada awalnya sebenarnya, demikian terekam dari kalangan buruh, sudah akan tercapai UMK=KHL (versi Dewan Pengupahan, Rp1.302.992), namun entah mengapa pengusaha dan pemerintah masih mencoba mengulur dan berharap UMK dapat lebih rendah lagi.
Akibatnya, para buruh melakukan aksi besar-besaran, bukan saja dalam artian jumlah pendemonya, tetapi juga soal angka tuntutan UMK yang menjadi lebih besar yakni sekitar Rp1.760.000.
Buruh Indonesia
Kaum buruh Indonesia pada dasarnya belum memiliki kesadaran kelas sebagaimana dimaksud Karl Marx. Bahkan kesadaran kelas tersebut sempat dipendam dalam-dalam oleh rejim Orde Baru dengan mengganti kata buruh menjadi pekerja dan atau karyawan.
Kesadaran kelas menurut Karl Marx, bukanlah sebatas kesadaran objektif atas realitasnya di dalam masyarakat beserta kepentingan-kepentinganya, tetapi juga harus meliputi kesadaran subjektif, yaitu kesadaran untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan khasnya sebagai sebuah kelas dalam masyarakat.
Dan kesadaran kelas bukanlah kesadaran yang bersifat individual tetapi kesadaran komunal!
Sejarah semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas, demikian tulis Karl Marx dalam Manifesto Komunis yang terkenal itu.
Kesadaran kelas di kalangan buruh di Indonesia semakin tergrogoti dengan diterapkanya sistim outsourching dalam rekrutmen tenaga kerja berdasarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Soal Outsourhing diatur dalam Bab IX pasal 58 dan 59 dan diberi istilah dengan PKWT yaitu perjanjian kerja waktu tertentu.
Sistim outsourching ini sebenarnya tidaklah semata-mata memberikan efisiensi luarbiasa bagi para pemodal, atau memutus rantai hubungan industrial antara pekerja dan perusahaan. Tetapi lebih dahsyat dari itu, mencabut roh kesadaran kelas dari kalangan pekerja Indonesia sebagai kelas buruh.
Karena itu, tidaklah mengherankan, pihak pemodal melakukan pelanggaran berlanjut dengan tetap menempatkan seorang pekerjanya sebagai tenaga PKWT, walau sebenarnya dia melakukan pekejaan-pekerjaan permanen dan tetap di dalam perusahaan tersebut. Tujuan tidak lain adalah agar kesadaran kelas sebagai kelas buruh, tidak tumbuh dalam diri setiap pekerja, dan akhirnya, kesadaran kelas dalam arti komunal juga menjadi lenih mustahil terbangun dan terbentuk.
Maka tidak mengherankan, jika kemudian banyak perusahaan memberlakukan kontrak kerja per tiga bulan kepada para pekerjanya walau sebenarnya sang buruh melakukan pekerjaan tetap dan kontrak per tiga bulan dilkakukan berulang-ulang, bahkan hingga bertahun-tahun.
Hal ini pun, pelanggaran ini pun, banyak terjadi di Batam.
Buruh Batam
Buruh Batam, mempunyai karakteristik berbeda dibanding dengan buruh lain di Indonesia, apakah di Sumatera, Sulawesi, apalagi buruh di tanah Jawa.
Mereka berbeda bukan hanya karena Batam adalah sebuah pulau kecil dan terletak di lintasan perairan Internasional, ataupun karena Batam adalah sebuah kawasan FTZ, tetapi juga sebab kultur politik yang dibangun dan dikembangkan para elit Batam sendiri.
Kultur politik yang bagaimana dan seperti apa?
Untuk mengetahui seperti apa kultur politik yang dikembangkan para elit Batam dan juga para pengurus Batam, paling mudah adalah dengan menelisik gaya komunikasi politik yang dimainkan mereka, baik itu person to person dan terutama dalam komunikasi publik melalui media massa.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar